"Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur"
Alangkah cepatnya waktu bergulir, hingga tanpa terasa empat dasawarsa telah berlalu. Dan hari ini, tepat 40 tahun yang lalu (16 Desember 1969), di puncak Para Dewa, Puncak Gunung Semeru, Soe Hok Gie bersama Idhan Dhanvantari Lubis pergi meninggalkan kita semua untuk selamanya.
Soe Hok Gie, pemuda lajang yang sempat pacaran dengan beberapa gadis manis FSUI, selain seorang kutu buku, macan mimbar diskusi, kambing gunung, tukang nonton film, juga penggemar berat folk song (meski sama sekali tak becus bernyanyi merdu). Berbadan kurus nyaris kerempeng, tapi kalau di gunung makannya gembul. Berikut adalah kisah disekitar saat-saat terakhir kehidupan seorang pemikir, penulis, juga aktivis pemberani yang bernama Soe Hok Gie….
Soe Hok Gie lahir pada 17 Desember 1942. Pemuda yang banyak membaca ini sering diejek dengan julukan “Cina Kecil”. Soe juga ikut mendirikan Mapala UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia), dimana salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian Gunung Slamet (3.442 mdpl), Soe mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.
Bersama Mapala UI, Soe berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676 mdpl. Tanggal 8 Desember sebelum berangkat, Soe sempat menulis pada catatannya : “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Soe meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Soe meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis (20 tahun). Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Soe di puncak gunung tersebut.
Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Soe Hok Gie (Catatan Seorang Demonstran – penerbit LP3ES, 1983), dapat digambarkan cuaca sore hari itu , tanggal 16 Desember 1969 di Puncak Semeru gerimis dan berkabut tebal.
Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringsaloka di Puncak Mahameru (puncaknya Gunung Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, Rudy Badil berjalan terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir dan bebatuan ditemani Maman. Mereka berusaha menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru.
Di depan terlihat Soe sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Sementara itu Tides dan Wiwiek sudah turun duluan. Sempat pula kami berpapasan dengan Herman dan Idhan.
Dengan tertawa kecil, Soe sempat menitipkan batu dan daun cemara. “Simpan dan berikan kepada kepada kawan-kawan batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya yang terdengar oleh Maman dan Rudy, sebelum keduanya turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).
Di perkemahan darurat yang dibuat hanya terdiri dari dua lembar ponco (jas hujan tentara), Rudy, Tides, Wiwiek dan Maman menunggu kedatangan Herman, Freddy, Soe, dan Idhan. Saat hari semakin sore, hujan pun mulai menipis dan lamat-lamat dikejauhan terlihat beberapa puncak gunung lainnya. Namun letupan di Jonggringsaloka tetap terdengar jelas dan tak kenal lelah.
Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Soe dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau hanya patah tulang. Karena khawatir, kami mencoba berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Soe, dan Idhan berkali-kali. Tak ada jawaban dan kami pun kembali.
Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Soe dan Idhan sudah meninggal! Mereka semua bingung, tak tahu harus berbuat apa kecuali berharap semoga laporan Herman itu tidak benar. Mereka berharap semoga Soe dan Idhan cuma pingsan, sehingga besok pagi siuman lagi untuk berkumpul dan tertawa-tawa lagi, sambil mengisahkan pengalaman masing-masing. Tapi harapan tinggal harapan.
Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan. Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mie kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta yang lain menjaga kesehatan Maman yang terlihat masih shock, karena sempat tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.
“Cek lagi keadaan Soe dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, mereka berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang. Baru keesokan paginya, tanggal 17 Desember 1969, mereka yakin kalau Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka menjumpai jasad kedua kawan mereka sudah kaku. Semalam suntuk Soe dan Idhan terlelap berkasur pasir dan batu kecil Gunung Semeru. Badannya yang dingin menandakan sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup rapat serapat katupan bibir birunya. Kami semua diam dan sedih.
Sejak dari Jakarta Soe memang sudah merencanakan akan memperingati hari ultahnya yang ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember, di dalam tenda yang sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe yang amat menguasai lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta kami menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody Knows, sampai berulang-ulang. Padahal irama lagu ini monoton sampai sudah membosankan kuping dan tenggorokan.
Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk rebusan mie hangat campur telur dan kornet kalengan. Malam yang dingin dan hujan itu, mereka banyak bercerita, termasuk mendengarkan rencana Soe yang mau berultah di puncak gunung. “Pokoknya gue akan berulang tahun di atas,” katanya sambil mesam-mesem. “Nyanyi lagi dong. Lagu Donna Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali.”
Pagi hari pada hari yang nahas itu, sebelum berkemas untuk persiapan pendakian ke puncak, mereka sarapan berat. Soe yang biasanya cuma bercelana pendek, kini memakai celana panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan dia mengenakan kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung. “Keren enggak?” tanyanya.
Rombongan pun mulai berjalan mendaki, menuju Puncak Mahameru dari dataran di kaki Gunung Bajangan. Soe sebagaimana biasanya, selalu memanggul ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak cerita dan komentar. Ia mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih banyak Harimau karena dia menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut kalau Cemoro Kandang berlumpur arang gara-gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai pertanda seleksi alam dan proses regenerasi tanaman hutan.
Dosen sejarah ini terus nyerocos kepada mahasiswanya (Rudi), asal muasal nama recopodo alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru yang berkaitan dengan nasib Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa.
Singkat cerita, musibah sudah terjadi. Soe mungkin tidak membayangkan betapa kematiannya bersama Idhan Lubis bikin repot setengah mati banyak orang. Mereka yang ditinggal dalam suasana tak menentu, selama sembilan hari benar-benar hidup tidak kejuntrungan. Selain puasa sampai tiga hari karena kehabisan makanan, mereka bertambah sedih saat menerima surat dari Tides via kurir, menanyakan keadaan Soe dan Idhan.
Herman, kami sudah sampai di Gubuk Klakah hari Kamis pagi, sesudah jalan sepanjang malam (sekitar 20 jam). Pak Lurah menyanggupi tenaga bantuan 10 orang dan bekal. Mohon kabar bagaimana Soe, Idhan, dan Maman dll. secepatnya mendahului rombongan … Tides dan Wiwik 18-12-69.
Rudy pun terpilih menjadi kurir, mendahului rombongan sambil membawa surat untuk Tides. Isinya apalagi kalau bukan minta bantuan tenaga dan bahan makanan. Herman pun menulis surat: Saya tunggu di Cemorokandang dan bermaksud menunjukkan “site” tempat jenazah Soe dan Idhan … kirimkan: gula/gula jawa, nasi, lauk, permen, pakaian hangat … sebanyak mungkin!
Akhirnya, semua bantuan tiba. Seluruh anggota berkumpul lagi pada tanggal 22 Desember di Malang. Mereka terlihat kurus dan kelelahan. Maman terpaksa dirawat khusus beberapa hari di RS.Claket. Sedangkan Soe dan Idhan, terbaring kesepian di dalam peti jenazah masing-masing. Untuk terakhir kali, mereka coba menengok Soe dan Idhan. Soe yang mati muda, terbujur kaku dengan kemeja tangan panjang putih lengkap dengan dasi hitam. Jenis barang yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya.
Tanggal 24 Desember 1969, Soe Hok Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Gubernur Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di antara bunga-bunga Edelweiss di lembah Mandalawani di puncak Gunung Pangrango, tempat dimana Soe Hok Gie biasa merenung seperti patung.
“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan......yang kedua dilahirkan tapi mati muda......dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”
“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”
Alangkah cepatnya waktu bergulir, hingga tanpa terasa empat dasawarsa telah berlalu. Dan hari ini, tepat 40 tahun yang lalu (16 Desember 1969), di puncak Para Dewa, Puncak Gunung Semeru, Soe Hok Gie bersama Idhan Dhanvantari Lubis pergi meninggalkan kita semua untuk selamanya.
Soe Hok Gie, pemuda lajang yang sempat pacaran dengan beberapa gadis manis FSUI, selain seorang kutu buku, macan mimbar diskusi, kambing gunung, tukang nonton film, juga penggemar berat folk song (meski sama sekali tak becus bernyanyi merdu). Berbadan kurus nyaris kerempeng, tapi kalau di gunung makannya gembul. Berikut adalah kisah disekitar saat-saat terakhir kehidupan seorang pemikir, penulis, juga aktivis pemberani yang bernama Soe Hok Gie….
Soe Hok Gie si Cina Kecil
Soe Hok Gie lahir pada 17 Desember 1942. Pemuda yang banyak membaca ini sering diejek dengan julukan “Cina Kecil”. Soe juga ikut mendirikan Mapala UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia), dimana salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian Gunung Slamet (3.442 mdpl), Soe mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.
Bersama Mapala UI, Soe berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676 mdpl. Tanggal 8 Desember sebelum berangkat, Soe sempat menulis pada catatannya : “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Soe meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Soe meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis (20 tahun). Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Soe di puncak gunung tersebut.
Kenangan Batu dan Daun Cemara
Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Soe Hok Gie (Catatan Seorang Demonstran – penerbit LP3ES, 1983), dapat digambarkan cuaca sore hari itu , tanggal 16 Desember 1969 di Puncak Semeru gerimis dan berkabut tebal.
Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringsaloka di Puncak Mahameru (puncaknya Gunung Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, Rudy Badil berjalan terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir dan bebatuan ditemani Maman. Mereka berusaha menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru.
Di depan terlihat Soe sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Sementara itu Tides dan Wiwiek sudah turun duluan. Sempat pula kami berpapasan dengan Herman dan Idhan.
Dengan tertawa kecil, Soe sempat menitipkan batu dan daun cemara. “Simpan dan berikan kepada kepada kawan-kawan batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya yang terdengar oleh Maman dan Rudy, sebelum keduanya turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).
Di perkemahan darurat yang dibuat hanya terdiri dari dua lembar ponco (jas hujan tentara), Rudy, Tides, Wiwiek dan Maman menunggu kedatangan Herman, Freddy, Soe, dan Idhan. Saat hari semakin sore, hujan pun mulai menipis dan lamat-lamat dikejauhan terlihat beberapa puncak gunung lainnya. Namun letupan di Jonggringsaloka tetap terdengar jelas dan tak kenal lelah.
Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Soe dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau hanya patah tulang. Karena khawatir, kami mencoba berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Soe, dan Idhan berkali-kali. Tak ada jawaban dan kami pun kembali.
Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Soe dan Idhan sudah meninggal! Mereka semua bingung, tak tahu harus berbuat apa kecuali berharap semoga laporan Herman itu tidak benar. Mereka berharap semoga Soe dan Idhan cuma pingsan, sehingga besok pagi siuman lagi untuk berkumpul dan tertawa-tawa lagi, sambil mengisahkan pengalaman masing-masing. Tapi harapan tinggal harapan.
Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan. Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mie kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta yang lain menjaga kesehatan Maman yang terlihat masih shock, karena sempat tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.
“Cek lagi keadaan Soe dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, mereka berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang. Baru keesokan paginya, tanggal 17 Desember 1969, mereka yakin kalau Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka menjumpai jasad kedua kawan mereka sudah kaku. Semalam suntuk Soe dan Idhan terlelap berkasur pasir dan batu kecil Gunung Semeru. Badannya yang dingin menandakan sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup rapat serapat katupan bibir birunya. Kami semua diam dan sedih.
Keinginan Tak Sampai
Sejak dari Jakarta Soe memang sudah merencanakan akan memperingati hari ultahnya yang ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember, di dalam tenda yang sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe yang amat menguasai lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta kami menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody Knows, sampai berulang-ulang. Padahal irama lagu ini monoton sampai sudah membosankan kuping dan tenggorokan.
Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk rebusan mie hangat campur telur dan kornet kalengan. Malam yang dingin dan hujan itu, mereka banyak bercerita, termasuk mendengarkan rencana Soe yang mau berultah di puncak gunung. “Pokoknya gue akan berulang tahun di atas,” katanya sambil mesam-mesem. “Nyanyi lagi dong. Lagu Donna Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali.”
Pagi hari pada hari yang nahas itu, sebelum berkemas untuk persiapan pendakian ke puncak, mereka sarapan berat. Soe yang biasanya cuma bercelana pendek, kini memakai celana panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan dia mengenakan kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung. “Keren enggak?” tanyanya.
Rombongan pun mulai berjalan mendaki, menuju Puncak Mahameru dari dataran di kaki Gunung Bajangan. Soe sebagaimana biasanya, selalu memanggul ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak cerita dan komentar. Ia mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih banyak Harimau karena dia menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut kalau Cemoro Kandang berlumpur arang gara-gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai pertanda seleksi alam dan proses regenerasi tanaman hutan.
Dosen sejarah ini terus nyerocos kepada mahasiswanya (Rudi), asal muasal nama recopodo alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru yang berkaitan dengan nasib Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa.
Singkat cerita, musibah sudah terjadi. Soe mungkin tidak membayangkan betapa kematiannya bersama Idhan Lubis bikin repot setengah mati banyak orang. Mereka yang ditinggal dalam suasana tak menentu, selama sembilan hari benar-benar hidup tidak kejuntrungan. Selain puasa sampai tiga hari karena kehabisan makanan, mereka bertambah sedih saat menerima surat dari Tides via kurir, menanyakan keadaan Soe dan Idhan.
Herman, kami sudah sampai di Gubuk Klakah hari Kamis pagi, sesudah jalan sepanjang malam (sekitar 20 jam). Pak Lurah menyanggupi tenaga bantuan 10 orang dan bekal. Mohon kabar bagaimana Soe, Idhan, dan Maman dll. secepatnya mendahului rombongan … Tides dan Wiwik 18-12-69.
Rudy pun terpilih menjadi kurir, mendahului rombongan sambil membawa surat untuk Tides. Isinya apalagi kalau bukan minta bantuan tenaga dan bahan makanan. Herman pun menulis surat: Saya tunggu di Cemorokandang dan bermaksud menunjukkan “site” tempat jenazah Soe dan Idhan … kirimkan: gula/gula jawa, nasi, lauk, permen, pakaian hangat … sebanyak mungkin!
Akhirnya, semua bantuan tiba. Seluruh anggota berkumpul lagi pada tanggal 22 Desember di Malang. Mereka terlihat kurus dan kelelahan. Maman terpaksa dirawat khusus beberapa hari di RS.Claket. Sedangkan Soe dan Idhan, terbaring kesepian di dalam peti jenazah masing-masing. Untuk terakhir kali, mereka coba menengok Soe dan Idhan. Soe yang mati muda, terbujur kaku dengan kemeja tangan panjang putih lengkap dengan dasi hitam. Jenis barang yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya.
Tanggal 24 Desember 1969, Soe Hok Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Gubernur Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di antara bunga-bunga Edelweiss di lembah Mandalawani di puncak Gunung Pangrango, tempat dimana Soe Hok Gie biasa merenung seperti patung.
Beberapa quote yang diambil dari Catatan Harian Soe:
“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan......yang kedua dilahirkan tapi mati muda......dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”
“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”
Label:
Artikel,
Cemoro Kandang,
Cina Kecil,
Donna-Donna,
Gubuk Klakah,
Hok Gie,
Idhan,
Jejak,
Lumajang,
Mahameru,
Mapala UI,
Petualang,
Ranu Pane,
Sebuah Tanya,
Semeru,
Shoe,
Soe Hok Gie,
Tides
0 Responses
Post a Comment
Subscribe to:
Post Comments (Atom)