Merindu Ismarilianti


Gambar diatas adalah kami, segelintir KUMAN AIDS saat bernarsis ria di gerbang pendakian Desa Bambangan, Kutabawa, Purbalingga. Berdiri dengan gagah di belakang sana adalah Gunung Slamet, gunung tertinggi nomor dua di Pulau Jawa. Tak perlu bertanya berapa sebenarnya tinggi gunung itu, yang pasti di sana, di ketinggian puncaknya tersimpan sebuah kisah.
Dalam kesempatan perjalanan naik dan turun di Gunung Slamet, kami melewati segundukan batu dengan sebuah plakat bertulis nama Ismarilianti (Iis) di atasnya. Saat itu juga ingatan kami melayang pada sebuah kisah di tahun 2001, sebuah kisah yang sangat memilukan.
Adalah mereka Turniadi (Dodo), Masrukhi, Dewi Priamsari, Bagus Gentur Sukanegara, Ismarilianti (Iis), Bregas Agung, dan Ahmad Fauzan. Mereka berangkat Minggu tanggal 4 Pebruari 2001 pagi dari Gelanggang Mahasiswa UGM ke Stasiun Lempuyangan menuju Bumiayu. Diselingi makan siang, mereka melanjutkan perjalanan dan tiba di Pengasinan sekitar pukul 15.30. Dari Pengasinan menuju desa awal pendakian Desa Kaliwadas yang berjarak 7 km ditempuh dengan jalan kaki dan bermalam di Desa Kaliwadas.
Senin (5/2) sekitar pukul 09.30, kelompok ini mulai melakukan pendakian menuju Puncak Slamet. Kurang lebih pukul 15.30 WIB mereka sampai di pertemuan jalur Kaliwadas - Baturaden dan meneruskan perjalanan sampai pukul 17.00 kemudian membangun camp dan istirahat semalaman.

Selasa (tanggal 6 Pebruari 2001) siang, sekitar pukul 13.00 WIB, mereka pun sudah berada di garis vegetasi puncak gunung tersebut. Para pendaki yang mengenal puncak Slamet pasti tahu, garis vegetasi itu tidak hanya merupakan batas untuk bisa tumbuhnya tanaman, tapi juga sering menjadi semacam point of no return . Begitu pendaki melewati garis tersebut menuju puncak, bahaya badai dan kabut tebal sering datang dengan tiba-tiba dan jika ini terjadi maka sulit untuk kembali. Benar juga, meski sudah mencapai batas vegetasi, mereka terhambat untuk meneruskan perjalanan ke puncak. Mereka berencana, jika memungkinkan Selasa langsung naik ke puncak dan sorenya langsung turun ke Bambangan.
Namun badai tiba dan puncak Slamet diselimuti kabut tebal. Mereka lantas memutuskan untuk membuat base camp, mendirikan tiga tenda di dekat garis vegetasi gunung berketinggian 3.432 meter di atas permukaan air laut yang terletak di perbatasan Kabupaten Pemalang, Banyumas, Tegal, dan Purbalingga itu. Mereka beristirahat untuk menunggu esok hari.
Sebenarnya Rabu (7/2) pagi pukul 05.00 WIB cuaca sekitar Puncak Slamet cerah. Namun mereka tak bisa mendaki, karena belum mengepak perlengkapan. Baru sekitar pukul 06.00 WIB barang-barang selesai dipak, dengan menyisakan satu tenda yang dibiarkan tetap berdiri mereka menuju puncak. Namun saat itu pula, kabut tebal dan badai angin kencang kembali melanda puncak Slamet. Mereka kembali masuk tenda karena mereka tak mau mengambil risiko terserang hipothermia, karena suhu di garis vegetasi saja saat itu di bawah nol derajat celcius.

Sekitar pukul 10.00 WIB, badai mulai reda. Meski puncak masih diselimuti kabut, angin tidak lagi menderu kencang. Sebenarnya ada rasa keraguan untuk naik ke puncak, tetapi Masrukhi dan Dodo sebagai pendamping menyatakan berani untuk mengantar sampai ke puncak. Akhirnya perjalanan naik ke puncak diteruskan. Tapi, di tengah pendakian, badai menghebat kembali. Mereka masuk dalam situasi point of no return . Saat itu, mereka berada di tengah perjalanan antara batas vegetasi dan puncak. Mereka sempat berencana untuk kembali ke base camp. Tapi, baik kembali ke base camp maupun meneruskan ke puncak, sama sulitnya. Akhirnya, mereka memutuskan untuk meneruskan pendakian.

Saat itu, jarak pandang hanya sekitar setengah meter, karena tebalnya kabut. Masrukhi, mahasiswa Fisipol UGM, tiba-tiba berteriak minta tolong. Dia diduga terserang hipothermia (penurunan temperatur tubuh secara mendadak) dan terguling ke lereng. Mereka mendengar suara itu, namun, karena tebalnya kabut, mereka tidak bisa melakukan apapun. Setelah mereka berenam sampai puncak, Dodo, Fauzan, dan Gentur, turun menjemput Masrukhi. Mereka memapah Masrukhi hingga ke puncak Tugu Surono. Tugu itu adalah tanda puncak tertinggi Gunung Slamet. Di puncak yang juga bibir kawah Slamet itu mereka mendirikan tenda dan menginap semalam. Saat itu mereka tidak mungkin kembali, karena badai makin menjadi-jadi.


Bahkan hingga keesokan harinya, Kamis (8/2), badai tak juga reda. Mengingat kondisi fisik mereka makin lemah, padahal masih membutuhkan tenaga untuk turun, akhirnya mereka memutuskan untuk turun. Saat itulah Masrukhi yang kondisi fisiknya masih lemah kembali terserang hipothermia. Dia sempat terguling, namun beruntung, Bergas yang ada di depan Masrukhi sempat menghadang tubuhnya, kalau tidak tubuh Masrukhi saat itu juga sudah masuk jurang. Kelima pendaki lain segera mendekati tubuh Masrukhi dan Bergas yang terjatuh. Mereka memutuskan menunda perjalanan, dan kembali mendirikan tenda di sekitar lokasi jatuhnya Masrukhi. Padahal, saat itu mereka masih berada di kawasan non-vegetasi (tanpa tumbuh-tumbuhan) di Puncak Slamet.


Tiba-tiba, beberapa meter di bawah mereka, terdengar sayup-sayup suara beberapa orang yang berteriak-teriak. Namun mereka tak mendengar secara jelas, apa yang orang-orang itu ucapkan. Mereka hanya bisa berkomunikasi dengan peluit, agar tidak saling kehilangan kontak. Mereka lantas meminta Dewi untuk mendekati asal teriakan itu. Dipandu suara peluit dari pendaki lain, akhirnya Dewi dapat mendekati mereka. Mereka ternyata pendaki dari Jakarta, tapi tidak berani memberi pertolongan, karena kabut terlalu tebal. Para pendaki asal Jakarta itu, memutuskan untuk turun ke Bambangan, desa terdekat di kaki Gunung Slamet, untuk minta pertolongan dari desa tersebut. Dewi diputuskan ikut bersama pendaki dari Jakarta turun ke bawah. Saat itu kondisi Masrukhi masih hidup, hanya saja kondisinya terlihat payah. Dalam perjalanan turun Dewi sempat bertemu Tim SAR dan sampai di Bangbangan Kamis malam, sekitar pukul 21.30. Segera setelah itu, Dewi yang mahasiswi D-3 Fakultas Geografi UGM itu melapor ke Kapolsek.
Sementara itu siang hari menjelang sore, di atas sana cerita getir terjadi. Maut kemudian merenggut lima nyawa pendaki Mapagama itu satu demi satu. Korban pertama adalah Masrukhi. Dia menghembuskan napas terakhir di pangkuan Dodo di lokasi basecamp. Mereka memutuskan untuk turun meninggalkan jenazah Masrukhi,dengan pertimbangan akan dievakuasi kemudian. Namun, kondisi fisik Bergas dan Fauzan sudah sangat kelelahan. Baru turun beberapa meter, Fauzan terjatuh ke selokan dan terguling beberapa meter. Bergas juga tampak kepayahan. Akhirnya, diputuskan untuk mendirikan tenda dan menginap lagi semalam. Di tempat ini, Fauzan terserang hipothermia. Sementara, persediaan logistik juga semakin terbatas, dan tak bisa dimasak karena kompor gas lipat mereka terbawa Dewi. Mereka hanya makan seadanya, mie instant kering, permen dan sambal pecel.
Keesokan harinya,Jumat (9/2), diputuskan hanya Dodo yang turun ke bawah, untuk minta pertolongan. Namun, hingga Sabtu (10/2), pertolongan tidak kunjung datang. Akhirnya, diputuskan Gentur untuk turun, sedangkan Iis tetap menunggui Fauzan dan Bergas. Dalam perjalanan turun, Gentur yang hanya berbekal delapan permen mengalami kesulitan yang luar biasa. Posisi mereka turun sejak dari puncak memang sudah bergeser, tidak lagi di jalur pendakian. Untungnya, ia menemukan alur sungai. Dengan mengikuti alur sungai itulah, Gentur akhirnya sampai kesebuah jalan aspal di Desa Serang, sebuah desa di antara Baturaden Kabupaten Banyumas dan Desa Bambangan Kabupaten Purbalingga.
Sampai di tempat itu, Ahad (11/2) pagi, Gentur langsung minta diantar tukang ojek ke Desa Bambangan. Begitu sampai, Gentur baru tahu Dodo tidak pernah sampai di desa terakhir rute pendakian Gunung Slamet itu. Dari situlah, kemudian Tim SAR dari berbagai kelompok pecinta alam sejumlah universitas, dibantu warga Bambangan dan Basarnas, memulai upaya pencarian.
Senin (12/2), adalah Fauzan, mahasiswa D-3 Geografi UGM yang pertama kali diketemukan oleh Tim SAR dakam kondisi sudah meninggal di dalam tenda, 20 meter di bawah garis vegetasi. Sementara Iis dan Bergas tidak lagi berada di tempat itu. Iis, mahasiswi Fakultas Kehutanan UGM, baru ditemukan pada Rabu (14/2). Waktu ditemukan, Iis berlindung di bawah cerukan air terjun di ketinggian 2750 meter, hanya mengenakan raincoat yang basah dengan kerudung (jilbab) dilepas. Kondisi fisiknya sudah teramat payah, gigi depan patah, luka di tulang kering kaki kanan dan leher, namun ia masih sadar. Karena sudah sore, tiga anggota Tim SRU (Search and Rescue Unit) yang menemukan Iis memutuskan untuk mendirikan tenda dan bermalam.


Setelah mengganti baju Iis yang basah, Tim SRU langsung membuat api unggun dan penyelamatan skin to skin (kulit ke kulit) untuk mengatasi hypotermia yang diderita Iis. Dari sore sampai malam hanya itulah yang bisa dilakukan. Eko Cahyo (anggota SRU 3 dari Unit P3K UGM) memutuskan memasukkan Iis ke dalam sleeping bag. Sekitar pukul 22.00, Iis mulai membaik dan bisa bicara serta menjawab beberapa pertanyaan-pertanyaan yang mudah.
Kamis (15/2) pukul 01.00, Eko Cahyo mendapat giliran untuk tidur, dan Samsi pun menggantikan posisi Eko untuk menjaga Iis dengan membikin api unggun dan mengajak mengobrol serta menempelkan penghangat ke tubuh Iis. Pukul 03.00 pagi Samsi berbaring di sebelah Iis dan karena kelelahan, Samsi pun tertidur. Ketika terbangun sekitar pukul 04.30, kondisi Iis sudah kritis tanpa respons, sehingga dilakukan pernapasan buatan sampai sekitar 20 menit. Sampai pukul 05.20 terus diupayakan penyelamatan namun gagal. Dan pagi hari sekitar pukul 07.00 mereka mengirim berita bahwa Iis sudah meninggal.

Pada hari yang sama saat Iis diketemukan (Rabu-14/2), Tim SAR yang memang dipecah-pecah menjadi beberapa unit kecil, juga menemukan Dodo. Mahasiswa Fak Hukum UGM ini juga diketemukan sudah meninggal. Sementara Bergas, mahasiswa Fakultas Peternakan UGM, ditemukan Sabtu (17/2), juga sudah meninggal dunia, di dekat batas vegetasi. Korban terakhir yang ditemukan adalah Masrukhi. Jenazahnya baru ditemukan Senin(19/2) pada lokasi jauh dari tempat semula ditinggalkan, sekitar 200 meter di atas garis vegetasi (misteri yang sampai saat itu belum terjawab).

Dan dari tujuh pendaki Mapagama itu, hanya dua pendaki yaitu Dewi dan Gentur yang selamat. Lalu mengapa hanya ada plakat dengan nama Iis di sana (Kendit)? Ternyata, kawan-kawan Iis dari Silvagama (Mapala-nya Fakultas Kehutanan UGM) yang memasangnya. Sebelumnya Iis memang pernah mendaftarkan diri menjadi anggota Silvagama, tetapi tidak lulus karena sakit dan tidak bisa mengikuti seluruh kegiatan Diklat Silvagama. Walau demikian, Iis tetap menjadi bagian dari Silvagama dan sering berkumpul bersama di Sekretariat Silvagama.
Sedangkan plakat yang dibangun oleh teman-teman Mapagama berada di pinggir kawah antara Puncak Bambangan dengan Puncak Tugu Surono. Bulan November 2009 lalu, plakat tersebut diperbaiki setelah rusak pasca aktifnya Gunung Slamet tahun 2009 lalu, dan sekarang posisi plakat yang baru berada di Puncak Bambangan.

  • CO2 in Atmosphere



    Followers