Kisah Soe Hok Gie di Puncak Para Dewa

"Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur"

Alangkah cepatnya waktu bergulir, hingga tanpa terasa empat dasawarsa telah berlalu. Dan hari ini, tepat 40 tahun yang lalu (16 Desember 1969), di puncak Para Dewa, Puncak Gunung Semeru, Soe Hok Gie bersama Idhan Dhanvantari Lubis pergi meninggalkan kita semua untuk selamanya.

Soe Hok Gie, pemuda lajang yang sempat pacaran dengan beberapa gadis manis FSUI, selain seorang kutu buku, macan mimbar diskusi, kambing gunung, tukang nonton film, juga penggemar berat folk song (meski sama sekali tak becus bernyanyi merdu). Berbadan kurus nyaris kerempeng, tapi kalau di gunung makannya gembul. Berikut adalah kisah disekitar saat-saat terakhir kehidupan seorang pemikir, penulis, juga aktivis pemberani yang bernama Soe Hok Gie….

Soe Hok Gie si Cina Kecil

Soe Hok Gie lahir pada 17 Desember 1942. Pemuda yang banyak membaca ini sering diejek dengan julukan “Cina Kecil”. Soe juga ikut mendirikan Mapala UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia), dimana salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian Gunung Slamet (3.442 mdpl), Soe mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.

Bersama Mapala UI, Soe berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676 mdpl. Tanggal 8 Desember sebelum berangkat, Soe sempat menulis pada catatannya : “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Soe meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Soe meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis (20 tahun). Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Soe di puncak gunung tersebut.

Kenangan Batu dan Daun Cemara

Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Soe Hok Gie (Catatan Seorang Demonstran – penerbit LP3ES, 1983), dapat digambarkan cuaca sore hari itu , tanggal 16 Desember 1969 di Puncak Semeru gerimis dan berkabut tebal.

Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringsaloka di Puncak Mahameru (puncaknya Gunung Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, Rudy Badil berjalan terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir dan bebatuan ditemani Maman. Mereka berusaha menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru.

Di depan terlihat Soe sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Sementara itu Tides dan Wiwiek sudah turun duluan. Sempat pula kami berpapasan dengan Herman dan Idhan.

Dengan tertawa kecil, Soe sempat menitipkan batu dan daun cemara. “Simpan dan berikan kepada kepada kawan-kawan batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya yang terdengar oleh Maman dan Rudy, sebelum keduanya turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).

Di perkemahan darurat yang dibuat hanya terdiri dari dua lembar ponco (jas hujan tentara), Rudy, Tides, Wiwiek dan Maman menunggu kedatangan Herman, Freddy, Soe, dan Idhan. Saat hari semakin sore, hujan pun mulai menipis dan lamat-lamat dikejauhan terlihat beberapa puncak gunung lainnya. Namun letupan di Jonggringsaloka tetap terdengar jelas dan tak kenal lelah.

Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Soe dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau hanya patah tulang. Karena khawatir, kami mencoba berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Soe, dan Idhan berkali-kali. Tak ada jawaban dan kami pun kembali.

Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Soe dan Idhan sudah meninggal! Mereka semua bingung, tak tahu harus berbuat apa kecuali berharap semoga laporan Herman itu tidak benar. Mereka berharap semoga Soe dan Idhan cuma pingsan, sehingga besok pagi siuman lagi untuk berkumpul dan tertawa-tawa lagi, sambil mengisahkan pengalaman masing-masing. Tapi harapan tinggal harapan.

Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan. Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mie kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta yang lain menjaga kesehatan Maman yang terlihat masih shock, karena sempat tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.

“Cek lagi keadaan Soe dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, mereka berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang. Baru keesokan paginya, tanggal 17 Desember 1969, mereka yakin kalau Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka menjumpai jasad kedua kawan mereka sudah kaku. Semalam suntuk Soe dan Idhan terlelap berkasur pasir dan batu kecil Gunung Semeru. Badannya yang dingin menandakan sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup rapat serapat katupan bibir birunya. Kami semua diam dan sedih.

Keinginan Tak Sampai

Sejak dari Jakarta Soe memang sudah merencanakan akan memperingati hari ultahnya yang ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember, di dalam tenda yang sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe yang amat menguasai lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta kami menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody Knows, sampai berulang-ulang. Padahal irama lagu ini monoton sampai sudah membosankan kuping dan tenggorokan.

Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk rebusan mie hangat campur telur dan kornet kalengan. Malam yang dingin dan hujan itu, mereka banyak bercerita, termasuk mendengarkan rencana Soe yang mau berultah di puncak gunung. “Pokoknya gue akan berulang tahun di atas,” katanya sambil mesam-mesem. “Nyanyi lagi dong. Lagu Donna Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali.”

Pagi hari pada hari yang nahas itu, sebelum berkemas untuk persiapan pendakian ke puncak, mereka sarapan berat. Soe yang biasanya cuma bercelana pendek, kini memakai celana panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan dia mengenakan kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung. “Keren enggak?” tanyanya.

Rombongan pun mulai berjalan mendaki, menuju Puncak Mahameru dari dataran di kaki Gunung Bajangan. Soe sebagaimana biasanya, selalu memanggul ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak cerita dan komentar. Ia mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih banyak Harimau karena dia menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut kalau Cemoro Kandang berlumpur arang gara-gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai pertanda seleksi alam dan proses regenerasi tanaman hutan.

Dosen sejarah ini terus nyerocos kepada mahasiswanya (Rudi), asal muasal nama recopodo alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru yang berkaitan dengan nasib Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa.




Singkat cerita, musibah sudah terjadi. Soe mungkin tidak membayangkan betapa kematiannya bersama Idhan Lubis bikin repot setengah mati banyak orang. Mereka yang ditinggal dalam suasana tak menentu, selama sembilan hari benar-benar hidup tidak kejuntrungan. Selain puasa sampai tiga hari karena kehabisan makanan, mereka bertambah sedih saat menerima surat dari Tides via kurir, menanyakan keadaan Soe dan Idhan.

Herman, kami sudah sampai di Gubuk Klakah hari Kamis pagi, sesudah jalan sepanjang malam (sekitar 20 jam). Pak Lurah menyanggupi tenaga bantuan 10 orang dan bekal. Mohon kabar bagaimana Soe, Idhan, dan Maman dll. secepatnya mendahului rombongan … Tides dan Wiwik 18-12-69.

Rudy pun terpilih menjadi kurir, mendahului rombongan sambil membawa surat untuk Tides. Isinya apalagi kalau bukan minta bantuan tenaga dan bahan makanan. Herman pun menulis surat: Saya tunggu di Cemorokandang dan bermaksud menunjukkan “site” tempat jenazah Soe dan Idhan … kirimkan: gula/gula jawa, nasi, lauk, permen, pakaian hangat … sebanyak mungkin!

Akhirnya, semua bantuan tiba. Seluruh anggota berkumpul lagi pada tanggal 22 Desember di Malang. Mereka terlihat kurus dan kelelahan. Maman terpaksa dirawat khusus beberapa hari di RS.Claket. Sedangkan Soe dan Idhan, terbaring kesepian di dalam peti jenazah masing-masing. Untuk terakhir kali, mereka coba menengok Soe dan Idhan. Soe yang mati muda, terbujur kaku dengan kemeja tangan panjang putih lengkap dengan dasi hitam. Jenis barang yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya.

Tanggal 24 Desember 1969, Soe Hok Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Gubernur Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di antara bunga-bunga Edelweiss di lembah Mandalawani di puncak Gunung Pangrango, tempat dimana Soe Hok Gie biasa merenung seperti patung.


Beberapa quote yang diambil dari Catatan Harian Soe:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan......yang kedua dilahirkan tapi mati muda......dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”

Mengurai Gunung Cikuray

Lokasi : Gunung Cikuray, Garut, Jawa Barat
Lewat Jalur Dayeuhmanggung, Garut
Tanggal : 23-25 Oktober 2009


Setelah rehat panjang karena libur bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, senang rasanya dapat kembali bercengkerama dengan alam lagi. Kali ini yang menjadi target sasaran kami adalah Gunung Cikuray di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Gunung Cikuray..?? Begitulah pertanyaan sebagian kawan-kawan ketika nama Gunung Cikuray disebut. Walaupun gunung ini termasuk gunung tertinggi ke empat di Jawa Barat sesudah Gunung Ciremai, Pangrango dan Gede, namun Gunung Cikuray ini kalah tenar dibanding dengan gunung di sekitarnya semisal Gunung Papandayan. Lantas mengapa kami lebih memilih Gunung Cikuray..??


Yang utama, belum ada seorang pun dari kami yang pernah ke sana. Alasan yang lebih menggiurkan bagi kami adalah gambaran jalur Cikuray yang cukup menantang dan belum banyak dilalui pendaki.

Jumat, 23 Oktober 2009

Setelah semua berkumpul, tepat pukul 21.00 WIB akhirnya kami berangkat menuju TKP, terlambat satu jam dari rencana keberangkatan yang semula pukul 20.00 WIB. Sebagian besar peserta nampaknya memanfaatkan benar waktu dalam perjalanan ini untuk beristirahat, hanya satu dua orang saja yang bercakap-cakap, itupun terpaksa karena tidak bisa tidur sebab suhu AC di bis ini dingin bangets.

Sabtu, 24 Oktober 2009

Kurang lebih pukul 01.30 WIB, rombongan tiba di Dayeuh Manggung, sebuah daerah perkebunan yang berada di kaki gunung Cikuray. Sambil menunggu rombongan dari Bandung, waktu yang ada kami gunakan untuk beristirahat di Rumah Makan Sari Muna / Masjid Hidayatul Muna. Sembari menunggu, kawan-kawan ada yang tidur, ada yang pura-pura tidur, ada yang ngobrol di Masjid, ada yang minum kopi di halaman Rumah Makan, ada yang ngelamun, ada yang ngupil (eh ada nggak ya…??)

Setelah rombongan dari Bandung datang, langsung berkemas untuk cabut ke Pos Pendaftaran di Pos PT Perkebunan Nusantara VII. Tidak seperti di gunung lainnya, perijinan mendaki cukup disampaikan lisan kepada Petugas Satpam perkebunan teh. Hal ini untuk berjaga-jaga jika ada sesuatu terjadi selama pendakian. Di sana memang belum ada pos pendakian yang dibuat resmi. Ini menjadi salah satu tanda bahwa gunung ini masih jarang dikunjungi pendaki.



Untuk mencapai Pos Pemancar bisa menggunakan kendaraan (biasanya bak terbuka atau ojek) yang dapat meringkas waktu perjalanan empat jam menjadi satu sampai dua jam. Biasanya mobil dari luar hanya boleh sampai di sini, tapi karena sudah koordinasi dan negoisasi sebelumnya diputuskan bis tetap naik sampai pemancar, namun karena jalan tidak memungkinkan, di tengah jalan kami berganti kendaraan memakai mobil Innova untuk sambung lagi pakai bak terbuka di tengah perjalanan. Disepakati Aku, Santo, Linggar dan Soni jalan duluan sambil membawa sebagian barang dan logistik. Setelah menempuh waktu lebih dari setengah jam, tepat pukul 02.45 WIB kami bertemu mobil bak terbuka dimaksud.


Tapi karena bahan bakarnya kosong, terpaksa mobil turun dulu dan kami diminta menunggu di sana. Rencana berubah, karena mobil bak terbuka turun dan cukup untuk mengangkut semua personel, mobil Innova diminta turun juga. Karena mobil dalam keadaan kosong, maka sering slip. Agar tidak slip Santo, Linggar dan Sony diminta naik sebagai pemberat sampai jalan agak bagus (kurang lebih 0,5-1 km). Waduh bisa dibayangkan, aku ditinggal sendirian di suatu tempat yang gelap tanpa cahaya sedikitpun. Hanya suara gemercik air yang saat itu aku sendiri tak tahu di sebelah mana aliran airnya. Keadaan sekitar? Aku sendiri belum tahu bagaimana keadannya. Yang aku tahu dari siluet langit, sebelah kanan, kiri dan belakangku adalah bukit. Setelah sendirian di kegelapan dari pukul 03.30 WIB, akhirnya mulai tampak fajar di ufuk timur, seiring kemunculan Santo, Linggar dan Sony.

Pukul 05.30 WIB rombongan dari bawah muncul juga, langsung kami bergabung menuju Pos Pemancar. Kami naik mobil bak terbuka diiring jerit histeris karena jalannya kecil dan rusak ditambah beberapa tikungan tajam, sementara sebelah kanan dan kiri jurang yang dalam siap menelan. Setelah satu jam perjalanan, akhirnya sampai juga di Pos Pemancar. Istirahat sebentar sambil reload kekuatan dan sarapan pagi langsung siap mendaki.


Dalam pembagian regu, selalu saja aku dapat regu pembuka jalan yaitu regu pertama (padahal aku selalu diomelin kalo nyampe duluan). Kali ini aku bareng ama Santo, Mbak Andar dan Mbak Jati. Karena ini adalah perjalanan pertama bagi Mbak Andar dan Mbak Jati maka perjalanan sengaja dibuat sesantai mungkin sesuai kemampuan mereka. Tapi tetap saja kami melangkah jauh di depan yang lain.


Selepas perkebunan teh dan penduduk, regu satu mulai pecah. Aku bereng Mbak Jati di depan, Santo dan Mbak Andar di belakang. Di jalur itu kami melewati akar-akar pohon yang besar. Aku melihat pohon tumbang di sepanjang jalur, kemungkinan roboh karena diterjang angin kencang, kemudian tanahnya sedikit ikut longsor. Bulan Oktober memang berada dalam masa musim hujan. Maka tak heran jika hujan terus turun dan sesekali disertai angin yang cukup hebat.


Di tengah perjalanan, kabut mulai turun diiringi gerimis kecil. Celaka… raincoat-ku ada di Santo. Aku nggak bilang tentang raincoat ini ke Mbak Jati, karena aku lihat semangatnya terus menyala dan tak ingin mengganggunya. Namun aku berusaha memanggil Santo namun tak ada jawaban (yang menandakan jarak kami terlalu jauh). Tapi untung hujan tak jadi turun.

Selang setengah jam berikutnya, saat kami sedang berbincang di jalan dengan rombongan dari Bekasi gerimis kembali datang, kali ini agak deras namun sebentar. Kali ini aku berterus terang tentang raincoat ini. Aku usul agar Mbak Jati ikut sebentar dengan rombongan Bekasi, sementara aku turun untuk mengambil raincoat dan segera menyusul. Namun Mbak Jati tak bersedia dengan alasan tak akan mampu mengimbangi kecepatan rombongan dari Bekasi (padahal rombongan Bekasi ini berangkat lebih awal dan dapat disusul kami). Melihat kondisi seperti ini, akhirnya aku pasrah jika seandainya harus kehujanan.




Dan ternyata benar, hujan akhirnya turun juga dengan derasnya. Aku terpaksa hujan-hujanan di atas ketinggian 2550-an mdpl. Setelah diskusi dengan Mbak Jati akhirnya kami putuskan untuk terus jalan menuju puncak dengan asumsi pasti ada tenda di pos bayangan karena rombongan yang berangkat jumat malam belum kembali.

Tapi karena satu lain hal, diputuskan untuk gabung dengan rombongan bekasi dan membuat tenda untuk istirahat sambil menghangatkan badan. Setelah satu jam menunggu, Santo dan Mbak Andar muncul juga. Segera aku ganti baju dan melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih pada rombongan Bekasi.

Seiring dengan suara adzan ashar, kami tiba di Puncak Bayangan, itulah puncak pertama yang kami temui. Sedikit lelah bercampur senang, kami beristirahat di sebidang tanah lapang yang dikelilingi pepohonan tinggi. Rupanya kami tidak ingin repot dengan pilihan tempat untuk beristirahat. Tanpa tunggu perintah kami segera mendirikan tenda sambil menunggu rombongan yang lain tiba. Setelah tenda bediri segera ambil posisi tidur sampai pagi untuk naik lagi.


Jumat, 25 Oktober 2009

Pagi pukul lima, kami bangun. Sambil sarapan dan minum kopi, kami berkemas. Setelah berkemas, kami kembali meneruskan perjalanan hingga melewati jalur punggung bukit. Untuk mencapainya, kami harus melewati jalur yang sulit. Melewatinya pun harus hati-hati dan dibutuhkan kerjasama. Satu per satu dari kami melewati rintangan itu. Menurutku, kesabaran, kegigihan, ketrampilan, dan stamina yang baik sangat perlu dimiliki oleh setiap pendaki.



Kali ini aku naik di posisi paling belakang bareng Santo dan Mbak Mida. Di tengah jalan Mbak Mida sakit perut, mungkin karena belum sarapan. Untung dalam tasku ada dua kotak susu dan satu botol air mineral, langsung aku suruh istirahat dan minum susu dulu sampai rasa sakitnya hilang.


Tak berapa lama, akhirnya kami temui dataran luas yang ditumbuhi alang-alang dengan satu bangunan mirip gardu di tengahnya. Itulah Puncak Gunung Cikuray. View dari Puncak Cikuray sangat indah … terlihat pemandangan desa di kaki gunung, pemandangan gunung papandayan dan pegunungan lain, gumpalan awan seperti kapas teronggok disana sini…… kerennn buanget…. Benar-benar takjub melihat indahnya ciptaan Tuhan.


Namun pagi ini, angin terasa cukup bertenaga menerpa tubuh dan wajah kami, kami segera menujun ke bangunan pos, namun tak cukup membantu karena di dalam pun angin bertiup kencang. Ingin rasanya lebih lama di puncak, namun kami harus segera kembali ke Pos Bayangan dan kembali ke bawah, kalau tidak ingin kehujanan di tengah jalan lagi (maklum pakaian yang kering tinggal yang ada di badan saja, kalau sampai basah lagi, pulang nanti pakai apa…??)



Tak sampai satu jam, kami sudah tiba kembali di Pos Bayangan. Langsung sarapan dan packing ulang untuk perjalanan pulang. Pukul 10.00 WIB kami berkemas untuk membawa semua peralatan. Hanya empat jam saja waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan turun.


Setelah melewati kawasan hutan yang lebat, kami memasuki kawasan perkebunan. Di jalur itu kami temui ladang, kebun dan alang-alang. Di kanan dan kiri jalur ditanami rumput untuk pakan ternak sedang di bawah tampak kebun teh yang terhampar hijau. Dari sini Pos Pemancar sudah terlihat, artinya sebentar lagi kita akan sampai.


Setelah melewati perkebunan teh, akhirnya kami sampai juga di Pos Pemancar tepat pukul 14.00 WIB. Sambil menunggu kawan-kawan yang lain, kami coba luruskan kaki yang terasa lelah ini.


Setelah semua turun, langsung cabut ke bawah menggunakan mobil bak terbuka lagi, waduh…rasanya seperti sedang ikut rodeo, itu lho naik banteng ngamuk. Sempat khawatir juga karena di tengah jalan hujan kembali turun. Ditemani gerimis akhirnya perjalanan berakhir di Rumah Makan Sari Muna. Setelah mandi, shalat (karena nggak ada sarung terpaksa pakai bawahan mukena) dan makan, tepat pukul 16.30 WIB kami kembali ke Cirebon.


Diselingi istirahat sebentar untuk makan (lagi) di Sumedang, akhirnya tepat pikul 22.30 WIB kami tiba di Cirebon……

Data koordinat :
Pos Pemancar : 07º 18′ 27″ – 107º 52′ 92″ – 1460mdpl
Pos 1 : 07º 19′ 01″ – 107º 52′ 37″ – 2066mdpl
Pos 2 : 07º 19′ 17″ – 107º 52′ 26″ – 2244mdpl
Pos 3 : 07º 19′ 32″ – 107º 51′ 98″ – 2539mdpl
Puncak Cikurai : 07º 19′ 25″ – 107º 51′ 40″ – 2813mdpl





-->
  • CO2 in Atmosphere



    Followers