Lokasi : Gunung Slamet (3432 M)
Lewat Jalur Bambangan, Purbalingga.
Tanggal : 31 Okt - 01 Nop 2008
Lewat Jalur Bambangan, Purbalingga.
Tanggal : 31 Okt - 01 Nop 2008
Jumat, 31 Oktober 2008
Sesuai rencana, jadwal keberangkatan adalah pukul 06.00 WIB. Namun seperti sudah menjadi tradisi, keberangkatan mulur lagi… baru pada pukul 08.00 WIB. rombongan bergerak menuju Pos Bambangan di Purbalingga. Sebetulnya pintu masuk menuju Gunung Slamet dapat melalui beberapa jalur yaitu Bambangan, Baturaden, Kaliwadas dan Randudongka. Tapi jalur yang resmi adalah melalui jalur Bambangan.
Pukul 10.48 WIB, akhirnya tiba juga di Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Purbalingga. Di desa yang berketinggian 1279 mdpl terdapat Pos Lapor bagi para pendaki yang hendak naik ke Puncak Surono, nama lain dari puncak Slamet. Di pos ini, kami diberi petuah tentang hal-hal yang harus dihindari. Selain tidak boleh berkata sembarangan, pantangan lain yang harus dipatuhi yaitu pendaki tidak boleh berbuat mesum dan tidak boleh memegang lutut. Pantangan pertama dan kedua mungkin dianggap wajar karena bukan hanya di Gunung Slamet, di tempat manapun yang dianggap keramat, orang yang datang tidak boleh berkata sembarangan dan berbuat mesum. Namun pantangan yang terakhir ini agak tidak masuk akal. Namun karena tersugesti kami pun tak berani memegang lutut, takut nggak sampai puncak.
Setelah Shalat Jumat, packing barang ulang untuk siap berangkat pendakian. Namun sesaat akan berangkat gerimis datang, terpaksa kami harus menggunakan raincoat. Sebenarnya mendaki pada bulan-bulan seperti saat ini sangatlah kurang menguntungkan bagi para pendaki, karena seringkali terjadi badai pada puncaknya dan cuaca sangat ekstrim sehingga pendaki sering terkena hipotermia. Sebagian jalur yang curam akan semakin berbahaya jika turun hujan seperti saat ini karena jalur tersebut akan digenangi oleh air hujan. Namun the show must go on, setelah semua membungkus dirinya dengan raincoat, perjalanan dimulai.....
Selepas Pintu Gerbang Bambangan, pemandangan yang terlihat cukup beragam, namun kebun sayur mayur mendominasi pemandangan sepanjang rute perjalanan saat ini. Tampak Mas Andri Ndirga, Dulaji dan Taten santai berjalan dengan diiringi alunan musik, sementara di belakangnya berjalan Mbak Moulin, Ina, Kang Dadang, Jemi, Ramdani, Budi dan Anto. Tak lama berselang perjalanan memasuki hutan pinus yang daunnya yang basah mendesah halus tertiup angin siang itu. Tak lama setelah memasuki kawasan hutan, maka sampailah kami di Pos Pondok Walang.
Sampai pertengah jalan menuju Pondok Cemara, rombongan masih membentuk kelompok besar. Namun setelah itu Dulaji yang bersama aku membawa logistik berupa air minum mengusulkan untuk jalan terus dan hanya berhenti pada tiap pos, karena jika ikut rombongan besar akan terasa capai karena terlalu sering berhenti. Lepas dari rombongan besar dan karena terlalu asyik berbincang, akhirnya Pos Pondok Cemara pun terlewati dan jarak dengan rombongan besar terlalu jauh.
Setelah berteriak dan tak ada jawaban, Dulaji mengusulkan untuk turun lagi karena khawatir salah jalan. Namun karena waktu sudah menunjukkan pukul 17.23 WIB, aku menyarankan untuk tunggu sebentar dan akan turun lagi setelah shalat maghrib. Setelah shalat Maghrib, kami bersiap untuk turun. Karena hari semakin gelap kami pun harus mengeluarkan lampu senter. Celakanya hanya ada satu senter, itu pun nyalanya redup (dan sering mati) karena aku lupa mengganti baterai-nya.
Saat hendak melangkahkan kaki untuk turun muncul rombongan lain, sehingga diputuskan tidak jadi turun lagi dan terus naik. Dengan satu senter yang kadang nyala (tapi lebih sering matinya) kami berdua mencoba merayapi gunung ini dengan hati-hati. Dulaji tak henti-hentinya meminta aku untuk jalan santai saja jangan terlalu cepat.Di tengah perjalanan sempat salah jalan namun segera putar haluan lagi.
Saat tiba pada percabangan tiga, bingung juga ditambah lagi nyala senter yang semakin redup. Akhirnya diputuskan untuk mencoba jalan ke kanan, tetapi jalannya agak tertutup sehingga balik lagi. Alternatif ke dua coba jalan yang tengah, hasilnya pun sama, jalanan agak rapat tertutup tanaman. Tidak ada pilihan tinggal jalan yang ke kiri, namun saat itu Dulaji berulang kali meminta aku untuk jalan cepat dan kebut, hal yang bertolak belakang dengan permintaannya sebelaumnya yang menganjurkan untuk jalan santai saja (Belakangan aku diberitahu bahwa saat itu Dulaji melihat persis di belakang tas punggungku, dia melihat sesosok makhluk berjubah putih mengikutiku terus.
Tak terasa, dengan nafas terengah-engah karena melakukan perjalanan cukup cepat dan beberapa kali tersandung akar-akaran, akhirnya kami tiba di Pos Samarantu. Kami istirahat sebentar di sini, dalam kegelapan sekilas tampak dua pohon besar tumbang yang saling bertindihan di dekat kami. Tak lama beristirahat di Pos Samarantu, perjalanan dilanjutkan menuju Pos Samyang Rangkah.
Pukul 20.12 WIB, akhirnya kami melihat sebuah shelter, ya itulah Pos Samyang Rangkah dan di sinilah kami akan bermalam. Sambil beristirahat dan menyiapkan tenda, aku dan Dulaji berbincang-bincang. Rombongan yang lain datang di Pos ini pukul 23.15 WIB dan langsung tidur.
Sabtu, 01 Nopember 2008
Bangun pagi di Samyang Rangkah ini rasanya malas sekali. Udaranya dingin menembus ke dalam sleeping bag kami , apalagi ditambah di luar masih gerimis. Tapi karena harus shalat Shubuh, maka terpaksa bangun juga. Di Pos Samyang Rangkah ini terdapat sumber mata air. Namun di musim kemarau air ini sulit di peroleh, karena cuma keluar sedikit bahkan tidak keluar. Untuk menuju ke sumber mata air ini pendaki harus turun ke bawah menerobos semak belukar dan melewati bebatuan yang sangat licin.
Sehabis makan dan diskusi sebentar, perjalanan dilanjutkan. Setelah melewati Pos Samyang Jampang, Samyang Katebon dan Samyang Kendit akhirnya kami melewati semak belukar, perdu dan juga tumbuhan bunga edelweis yang menandakan Pos Plawangan sudah dekat.
Serupa dengan di Pos Samyang Rangkah, di Pos Plawangan juga terdapat shelter. Plawangan (lawang-pintu) merupakan gerbang menuju puncak Slamet. Dari tempat ini pendaki akan dapat menikmati panorama alam yang membentang luas di arah timur.
Selain mencapai puncak Slamet, akhirnya tercapai juga satu keinginan untuk mengunjungi satu tempat. Beberapa meter dari Pos Plawangan, kami melewati satu tumpukan batu dengan satu nisan atas nama Ismarilianti (Iis).
Setiap bertemu tanda kenangan seperti ini, saya selalu terharu, meskipun tidak kenal dengan si empunya nama. Yang kami tahu, Iis ini adalah salah satu pendaki Mapagama (UGM) yang meninggal dalam Musibah badai di bulan Februari tahun 2001. Entah kenapa cuma nama Iis yang ada di situ, mungkin yang memasang adalah teman-teman di fakultasnya yang tergabung dalam Silvagama.
Selepas Plawangan lintasan semakin menarik sekaligus menantang dan pendaki mesti extra hati-hati ketika melintasinya. Medannya berupa bebatuan vulkanis yang labil dan mudah longsor dengan kemiringan yang “aduhai, ditambah kanan kiri terdapat jurang dan tidak ada satu pohon pun yang dapat digunakan sebagai pegangan, sampai-sampai pendaki terkadang harus merangkak untuk menjaga keseimbangan tubuh.
Angin terasa sangat keras menerpa tubuh kami yang ringkih ini. Kabut pun selalu datang menyelimuti ditemani dengan rintik gerimis. Ya...di daerah ini sering terjadi badai gunung. Rupanya kabut semakin tebal dan hujan pun semakin deras. Terpaksa kami berhenti dan istirahat sambil menahan tubuh ini agar tidak melorot ke bawah.
Setengah jam berlalu badai pun reda, akhirnya kami meneruskan menuju dan tiba Puncak Slamet atau yang lebih dikenal dengan puncak Surono pukul 11.07 WIB. Tiba di Puncak kami istirahat sambil menunggu kabut menghilang karena saat itu jarak pandang hanya 5-10 meter saja.
Setelah satu jam menunggu di Puncak, akhirnya rasa penasaran untuk melihat kawah Gunung Slamet terhapus sudah. Dari sini pendaki dapat melihat puncak Slamet yang begitu besar denga hamparan kaldera yang sangat luas dan menakjubkan, yang biasa disebut dengan Segoro Wedi. Kawah Gunung Slamet termasuk kategori aktif, bau belerang dan kepulan asap kecil akan tampak keluar dari kawahnya.
Puas di Puncak kami segera berkemas. Pukul 01.09 WIB kami turun dengan target sampai Pos Bambangan sebelum hari gelap. Turun dari puncak menuju Pos Plawangan agak sulit, karena tak ada jalan setapak. Semua terlihat sama sehingga sulit untuk menentukan arah mana posisi Pos Plawangan.
Gerimis menyambut kami saat tiba di Pos Plawangan. Perjalanan dilanjutkan sampai Pos Samyang Rangkah untuk makan siang. Hujan turun dengan derasnya membuat kami malas untuk berjalan lagi. Selepas Ashar hujan tak reda juga, tapi kami tetap memutuskan untuk turun. Tiba di Pos Pondok Samarantu kami menjumpai salah satu keunikan dan jadi ciri khas gunung Slamet. Yakni dua pohon besar dengan satu akar yang menyerupai dinding. Pohon ini diyakini sebagai pusar atau pertengahan gunung Slamet.
Merasa ada yang aneh dalam perjalanan, aku sempat menanyakan pada Taten dan Jemi apakah semalam lewat jalur ini. Dengan yakin mereka berdua menjawab bahwa semalam memang melalui jalur ini. Bahkan mereka balik bertanya ”memang ada apa ?” Aku dan Dulaji menjawab bahwa semalam kami tak melalui jalan yang terjal dan curam seperti ini, bahkan jalan terkesan landai.
Jalan yang paling susah dilalui adalah saat sampai di perkebunan. Tanah merah yang basah membuat kami harus jatuh bangun melaluinya. Sudah tak terhitung berapa kali banyaknya kami terpeleset, sebelum akhirnya kami putuskan melalui perkebunan penduduk dengan syarat tidak merusak tanaman yang ada. Dan akhirnya bersamaan dengan suara adzan maghrib, kami tiba kembali di Pos Bambangan.
0 Responses
Post a Comment
Subscribe to:
Post Comments (Atom)